2 minggu kemudian
Kayana
Akhirnya
bisa ke sini cuma untuk nikmatin kopi dan suasana. Kayana kembali ke café
kesukaannya, tempat yang 2 minggu lalu ia singgahi untuk menyelesaikan
kerjaannya yang sudah deadline.
“Mas!” Panggil Kayana ke salah satu pramusaji.
“Mau pesen apa Mba Kayana?” Tanya
pramusaji, ramah.
“Seperti biasa aja mas, latte macchiato.”
“Baik mba. Ohiya ada titipan buat
mba Kayana. Saya ambilkan dulu ya.” Lanjut pramusaji yang membuat Kayana
bingung, karena seingatnya semua teman – temannya tahu alamat rumahnya atau at least punya contactnya untuk
menghubungi menanyakan alamat rumah bila ingin mengirimkan sesuatu.
“Ini mba titipannya.” Pramusaji
itupun kembali dengan memberikan sebuah amplop coklat, polos tanpa informasi
pengirim yang tertempel.
“Dari siapa ya mas?” Tanya Kayana
bingung.
“Wah saya kurang tahu mba, lupa juga
nanyain namanya. Maaf ya mba. Saya juga lupa ciri – ciri jelasnya karena udah
semingguan juga titipannya mba, yang jelas dia laki – laki hehe.”
“Ooh gitu yaudah ngga apa – apa,
makasih ya.”
“Iya mba, sama – sama.” Setelah
pramusaji meninggalkan mejanya, Kayana mulai membuka amplop coklat tersebut
karena sangat penasaran apa isinya. Siapa yang mau mengirimkan sesuatu buatnya hingga
dititipkan di café ini pikir Kayana sambil mengambil sesuatu di dalam amplop
tersebut.
Foto
dirinya dan surat.
Kayana tertegun melihat foto
dirinya, 2 minggu yang lalu sedang membaca di salah satu meja café ini. Di
belakang fotonya tertulis:
“alone,
by herself
drown in her
book
and set me free.”
Laki
– laki itu yang telah mengiriminya amplop coklat ini. Laki – laki yang 2 minggu
lalu duduk terpisah 2 meja di depan meja Kayana. Laki – laki yang
memperhatikannya, laki – laki yang tidak bisa melupakan senyum Kayana.
Kayana
tersenyum melihat foto dan tulisan itu. Ia pun beralih dan membaca suratnya.
“Hei, sebelumnya aku mau minta maaf karena sudah ngga
sopan mengambil foto kamu tanpa seizin dari kamu. Hari itu aku sebenarnya
sedang mengalami ya bisa dibilang idea block. Aku buntu, ngga tau mau motret
apa, ngga dapet angle yang pas untuk memotret, dan ngga tau mau gambar apa.
Tapi saat aku masuk ke café ini dan lihat kamu sedang membaca dan rasanya kamu
seperti berada di dunia kamu sendiri. Aku merasa harus mengabadikannya. Aku
ngga tahu kenapa, aku cuma tau aku melakukannya.
Dan saat itu idea block ku pun perlahan hilang, ntah
ke mana. Aku membuat sketch dari foto kamu dan setelah itu somehow semua sudut
di café ini bisa aku jadikan objek fotoku. Ooh ya satu lagi, aku udah hapus
foto kamu dari kameraku jadi kamu ngga perlu khawatir fotomu aku salah gunakan.
Hanya tersisa 1 foto yang sudah aku cetak dan sketch yang akan aku pamerkan di
pameran, semoga kamu ngga keberatan. Kalo kamu mau lihat pamerannya, lokasinya
di Jl Senopati No 116. Jumat, 24 Februari pukul 4 sore.
Aku ngga tau
kamu baca surat ini sebelum tanggal 24 atau sesudahnya, aku berharap
kita bisa bertemu lagi di tanggal 24 ataupun bukan. Sekali lagi aku minta maaf
dan terima kasih karena sudah menjadi inspirasi.
Salam,
Agam.”
Kayana tersenyum, terharu. Rasa –
rasanya ia tidak pernah menjadi inspirasi seseorang dan tanpa ia sadari hanya
duduk dan membaca dapat menjadikan
dirinya sebagai inspirasi orang lain.
Ya, semoga kita bertemu lagi. Doa Kayana dalam hati. Hp nya bergetar membuyarkan
kekaguman yang sedang ia rasakan, sms masuk. Dan ia pun dibuat terpaku, bukan
karena sms yang masuk namun saat melihat tanggal di hpnya. Ia tersenyum dan
meningalkan café, pergi ke tujuannya yang baru.
Jumat, 24 Februari 2017.
16.00
Agam
Pukul 16.30 sudah, studio yang
setahun lalu resmi menjadi milik Agam dan kawan – kawannya terasa ramai dan
hangat. Studio ini memang biasa mengadakan pameran, minimal 1 kali dalam
setahun. Semua yang ingin memamerkan
karyanya boleh ikut mendaftar. Kawan – kawan Agam pun setuju, jadi sejak
setahun lalu studio ini semakin ramai.
Tapi di dalam keramaian itu Agam
masih mencari – cari seseorang, masih berharap seseorang itu datang. Masih
berdoa ia akan bertemu wanita itu lagi.
“Ngapain lo ngeliatin ke luar mulu?”
Adrian, salah satu teman Agam membuyarkan lamunannya, dan saat itu sebuah taksi
berhenti di depan studionya. Seorang wanita yang ia harapkan, turun dari taksi
dan menuju pintu masuk studionya. Agam terlonjak dan buru – buru merapihkan
penampilannya dan menuju pintu masuk.
“Woi Gam! Ngga jawab pertanyaan gue
main lari aja lo!”
“Sst! Berisik!” Seru Agam sambil
berlari kecil ke arah pintu. Waktu yang ditunggu – tunggu ia pun akhirnya
datang. Wanita itu lagi, yang senyumnya masih ia ingat. Mereka pun bertatapan,
Agam merasa tiba – tiba suhu di sekitarnya lebih hangat dari sebelumnya.
“Hai, kamu Agam?” Tanya wanita itu
dengan senyumnya yang ramah. Senyum yang tiba – tiba membuat suara Agam tidak
mau keluar.
“Sorry aku salah orang ya?” Tanya
wanita itu lagi, merasa pertanyaan sebelumnya tidak dijawab pikir ia salah
orang.
“Ooh ngga kok! Aku Agam.” Balas
Agam, sambil tersenyum dan mengajak untuk berjabat tangan.
“Hei! Aku Kayana.” Ya wanita itu
adalah Kayana. Kayana pun membalas jabatan tangan Agam. “Aku mau bilang makasih
buat titipan ini.” Sambung Kayana.
“Kamu ngga perlu bilang makasih,
justru aku yang harusnya minta maaf ke kamu. Anggep aja itu sebagai permintaan
maaf aku.” Jawab Agam sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Akhirnya kita bertemu lagi.
2 minggu
sebelumnya
Agam
Gimana
caranya gue kirim amplop ini kalau gue ngga tau alamatnya? Jangankan alamatnya,
namanya aja gue ngga tau. Gerutu Agam sambil melihat amplop coklat yang ia
pegang sedari tadi. Agam ingin sekali mengirimkan amplop ini ke wanita yang ia
foto dan sketch seminggu yang lalu. Agam merasa bersalah karena telah memotret
wanita itu tanpa izin darinya.
“Dri, gue ke luar bentar ya. Cari
angin.” Izinnya kepada Adrian, salah satu kawan dekatnya. Agam pun membawa
mobilnya melaju di sore hari kota Jakarta. Menyusuri jalanan kota Jakarta,
tanpa tujuan dan masih memikirkan bagaimana caranya mengirimkan amplop ini
kepada wanita itu. Rokok pun dinyalakannya saat mobilnya berhenti terjebak
macet. Sekali dua kali tarikan dan hembusan asap rokok ia ulangi dan tetap masih
memikirkan bagaimana caranya. Hingga tidak sengaja ia menatap keluar jendela
dan melihat café yang seminggu lalu ia singgahi, tempat yang sama ia bertemu
wanita itu.
Agam dengan semangat mengambil jalur
kiri dan memarkirkan mobilnya di depan café
itu. Ia mengingat – ingat pramusaji yang dirasa cukup kenal dengan
wanita itu. Ia menyisir setiap sudut café untuk mencari pramusaji itu. Tak lama
ia melihat pramusaji itu sedang membersihkan meja di sudut café.
“Mas, sorry ganggu ngga ya?” Agam
menghampiri pramusaji itu dan menyapanya.
“Ooh ngga mas, ada yang perlu
dibantu?” Jawab pramusaji dengan ramah.
“Iya sebenernya saya perlu bantuan,
saya cuma mau titip amplop ini buat perempuan yang seminggu lalu duduk di meja
sana mas.” Tunjuk Agam ke meja yang seminggu lalu ditempati wanita itu.
“Aduh mas pengunjung di sini banyak
dari seminggu yang lalu, saya ngga ingat.” Pramusaji kebingungan dengan
permintaan Agam yang memang tidak masuk di akal.
“Bentar mas, ini saya ada fotonya.”
Agam tidak putus asa dan masih berusaha. Ia menyodorkan foto wanita itu ke
pramusaji, berharap pramusaji mengenalnya.
“Ooh mba yang ini, ya boleh titipkan
aja sama saya. Nanti saya sampaikan kalo mbanya datang ke sini lagi.” Senyum
pramusaji sambil menerima amplop dari Agam.
“Bener mas? Terimakasih banyak ya
mas.” Senyum sumringah Agam tersimpul sambil dijabatnya tangan pramusaji erat –
erat.
“Iya sama – sama mas, yasudah saya
balik kerja lagi ya mas. Permisi”
Selesai urusannya dengan amplop itu.
Setidaknya ia masih punya harapan, walau terhitung kecil. Yasudahlah daripada ngga ada usaha sama sekali, semoga Tuhan berbaik
hati. Doa Agam dalam hati.
pic; pinterest
0 comments:
Post a Comment