“Nih
hazelnut muffin dan iced lemon tea kamu.” Rega membawa
nampan berisi pesanan mereka pada Sabtu sore ini, di tempat favorit mereka.
Revue menjadi tempat favorit mereka sejak pertama kali mereka lunch bareng dua tahun lalu. Sabtu sore
yang tenang dan hangat ini dipilih Rega untuk menanyakan hal sensitif kepada
Alea. Ia tidak bisa begini terus, pikirnya.
“Al.”
Panggil Rega untuk mendapatkan perhatian Alea yang sedang membaca novelnya
sambil mengunyah muffin yang ia
belikan tadi.
“Yes?”
“Aku
perlu bicara.” Alea merasa ada yang tidak benar, ia segera menutup novelnya dan
memberi perhatian ke lawan bicaranya.
“Go ahead.”
“Selama
dua tahun ini, kamu ngerasa apa ke aku?”
“Maksudnya?
Kamu kenapa sih?” Perasaan Alea tidak enak, ia tidak mau membicarakan hal-hal
yang mengarah ke situ.
“Aku
serius. Kamu nyaman sama aku?” Rega masih meyakinkan dirinya bahwa hari ini ia
akan mendapat kepastian.
“Iya,
kalo nggak nyaman ngapain selama dua tahun ini aku sama-sama terus sama kam..”
Jawaban Alea terputus ketika pertanyaan selanjutnya dilontarkan Rega.
“Kamu
sayang aku?”
“Seriously Rega, what is wrong with you?”
“Nothing, I just wanna know. Are you in love
with me?” Wait what? Rega tahu
betul ia tidak suka membahas sesuatu bertemakan cinta. Love is bullshit untuk Alea.
“You know I’m not comfortable talking about
that thing right, Rega?” Alea menurunkan nada suaranya, suara yang ia
gunakan bila tidak nyaman dan tidak suka pada situasi tertentu, salah satunya sekarang.
“Okay I’m sorry for bringing this up, but I
know you know I love you.” And yes
she knows it. She knows he’s in love with her, she knows he’ll taking care of
her no matter what. She knows he’ll always be there. Alea hanya terdiam,
tidak tahu akan menjawab apa.
“Al?
Could give the love I deserve?”
“I did.” Jawab Alea ragu. Karena
sesungguhnya ia tidak tahu apa yang ia rasa, apa benar ini cinta yang ia
rasakan atahu hanya nyaman karena sudah terlalu lama Rega menemaninya.
“If you say so, then would you marry me?”
“Wait what? Are you insane? You know I have an issues.
Aku susah percaya sama cinta, apalagi
pernikahan. Kamu tahu sendiri orang tua ku bercerai, tante ku ditinggakl
suaminya selingkuh, sepupu ku korban kdrt. What
do you expect?” Alea tidak mengira Rega seperti ini, Alea pikir Rega
memahami dirinya. Ternyata dia salah, Rega hanya memikirkan dirinya sendiri.
“Al
please, kamu kira aku lupa? You told me that for billion times. You told
me they’re failed, tapi itu mereka Al bukan kita.”
“Memang
apa bedanya kita dengan mereka? Sebut kamu perlu berapa bulan atahu tahun untuk
meninggaklkan aku setelah kita menikah?” Shit.
What did I just say. Rega mematung, kaget tidak mengira Alea akan
mengucapkan hal bodoh seperti itu.
“Alea
Naura Gayatri, did you really say that?
You mean it? Selama ini kamu menilai aku sebagai laki-laki yang seperti
itu? Really Alea?” Alea tahu Rega
sangat marah kepadanya ketika ia menyebutkan nama lengkap Alea, Rega sangat
kecewa. Alea hanya bergeming di tempatnya, menunduk tidak berani melihat mata
Rega yang sedari tadi menatapnya.
“Okay then I leave it to you here, I’m done.
I still waiting for you, but this time I don’t know for how long. Take care.”
Rega menyerah, ia pikir tidak ada artinya lagi memperjuangkan seseorang yang tidak
percaya pada Rega, bahkan pada seseorang yang tidak percaya akan dirinya
sendiri. Alea hanya menangis tertunduk sepeninggakl Rega dari tempat duduknya.
Esok
paginya Alea terbangun karena gedoran pintu apartemennya yang tidak kunjung
berhenti, siapa lagi kalau bukan Kenzo dan Vina yang menggaknggunya pada minggu
pagi seperti ini.
“Gue
telfon Rega nanyain kenapa hp lo mati tapi kenapa dia bilang dia nggak tahu? He said he’s not with you anymore?”
“Dang girl! You look like shit!” Cerocosan
dua sahabatnya ini saling bersahutan seketika ia membuka pintu.
“Take
a seat, would you? I’ll explain.” Jawab Alea malas sambil berjalan ke arah
dapur untuk menyiapkan minum untuk teman-temannya.
“So
why he said he’s not with you anymore?” Tembak Vina tidak sabaran ketika
Alea menghampirinya sambil memberikan minum.
“What
do you mean not with me anymore? We’re not like together, we’re just… friends. Remember?”
Dia tahu penjelasannya adalah penjelasan terbodoh yang pernah ia ucapkan, ia
tahu hubungannya dengan Rega lebih dari teman but less than a couple.
“Al, honey seriously? Stop lying to yourself dear.” Sambar Kenzo sambil
menyilangkan kakinya yang menggunakan celana super skinny berwarna hijau metalik
yang bikin sakit mata pagi-pagi.
“Yes,
setuju. Coba kali ini lo jujur ke diri lo, lo butuh Rega kan? Selama lo
sama Rega gue juga liat lo berangsur-angsur jadi lebih happy nggak kaya sekarang gini, muka lo nggak ketolong, menyedihkan.”
“Tapi kan kalian tahu gue..”
“Yes
we knew you have a commitment issues. Tapi lo juga mesti paham, setiap
komitmen yang dibangun itu tergantung siapa yang membangun dan gimana cara
mereka menjaganya. Bukan berarti karena beberapa orang gagal dalam berkomitmen
maka lo juga gagal, you’re not them and they’re
not you as well.” Ucapan Vina membuat Alea tidak bisa menahan air mata yang
sejak semalam ia tahan karena tidak mau menangisi Rega dan hidupnya yang
menyedihkan.
“Dan gue yakin lo sudah bisa menilai
Rega orang yang seperti apa, gue yakin kalau Rega bukan orang yang lo percaya
lo nggak akan sama-sama dia terus selama dua tahun ini. Tapi nyatanya lo terus
sama-sama kan? You know what I mean.”
Sambar Kenzo sambil mengusap punggung Alea yang semakin tersedu-sedu.
“Tapi kemarin sore gue ngomong hal
yang mungkin bikin Rega sakit hati sama gue, yang mungkin Rega sekarang benci
sama gue. Bahkan gue benci diri gue sendiri karena bilang kaya gitu ke Rega,
karena gue tahu dia bukan orang seperti itu. Tapi gue tetap menyakiti Rega.”
Alea terus berkicau tanpa henti di dalam tangisnya yang semakin menjadi. Dua sahabat
Alea pun hanya bisa mendengarkan dan mencoba menenangkan Alea yang terlihat
menyedihkan. Baru kali ini dua sahabatnya melihat Alea setidak berdaya ini
karena seorang laki-laki.
Setelah Alea tenang, Vina
memberanikan diri untuk bertanya
keputusanya.
“So
you have the answer?” Alea hanya mengangguk dan berdoa di dalam hatinya
agar keputusannya tidak menjadi keputusan yang salah.
“Good
girl! Sekarang boleh nggak lo mandi? Gue nggak mau punya sahabat gembel
gini.” Tembak Kenzo yang disambut dengan lemparan bantal sofa oleh Alea.
Alea Naura Gayatri:
Bisa ketemu besok sore di Revue?
Rega Aksa Mahendra:
Ada apa? Aku ada meeting.
Alea Naura Gayatri:
Yasudah aku tunggu sampai meeting kamu selesai di
Revue.
Pesan singkat yang masuk pada minggu
malam ini membuat Rega tidak bisa tidur. Ia tidak mau berharap bahwa besok Alea
akan membawa berita bagus, tapi ia juga tidak bisa membayangkan bila Alea membawa
berita buruk yang akan lebih menyakiti hatinya. Ia sudah cukup sakit hati
dengan perkataan dan penolakan Alea sabtu itu.
Alea sampai di Revue pukul 5.30 sore
dengan masih mengenakan setelan baju kantornya menunggu sampai orang yang ingin
ditemuinya muncul sambil menenangkan diri dengan hazelnut muffin dan chamomile
tea nya. Satu jam kemudian Rega muncul juga dengan masih mengenakan setelan
baju kantornya namun dengan lengan kemejanya yang sudah tergulung sampai siku.
“Sorry
udah nunggu lama ya?” Tanya Rega basa-basi dengan nada datarnya yang
membuat Alea ragu apakan pertemuan ini harus dilanjutkan atahu tidak.
“It’s
fine. Gimana meetingnya?” Kikuk Alea
menanyakan pertanyaan yang basi bagi mereka.
“It
went well. Jadi kamu nyuruh aku ke sini cuma mau nanya tentang ini aja?”
“Enggak. Sabar kenapa sih. Ada yang
perlu aku bicarakan.”
“Go
ahead.” Alea merasa déjà vu namun
kali ini dengan perasaan yang lebih tenang. She
hopes.
“I know I was an
asshole earlier, that day, you know. I apologize.” Alea berhenti bicara untuk
mencari ketenangan di mata Rega, tapi tidak ia temukan. Hanya sorot mata Rega
yang kosong dan mematikan yang dilihatnya kali itu. Rega masih terlihat dingin.
“Sudah minta maafnya? Kalau sudah
aku mau pul..”
“Kamu bisa dengerin aku dulu nggak? Kenapa
jadi nggak sabaran banget sih?” Ucap Alea kesal karena merasa Rega terus
membuatnya salah tingkah, grogi. Rega pun kaget melihat Alea yang tiba-tiba
meledak seperti itu.
“Aku juga tahu selama ini aku
menjadi orang yang menyedihkan dan kejam. Hanya menerima perhatian yang kamu kasih
tanpa memberi perhatian lebih ke kamu. Tapi aku sendiri juga belum bisa
berdamai sama diriku sendiri, terlalu sulit.” Air mata Alea kembali mengaliri
pipinya. Namun Rega tetap tidak bergeming.
Ia hanya menatap Alea sambil berkata
datar “Kalau kamu mau nolak aku untuk kedua kalinya, aku nggak sanggup Al. I’m sorry. Lebih baik aku pulang, aku
menghargai keputusan kamu kok it’s okay. Memang
bukan aku yang kamu butuhin.”
“God dammit Rega! Sejak kapan kamu jadi
cerewet dan suka mengambil kesimpulan sendiri seperti itu sih? I’m not finished yet! Just listen!”
“Buatku
berdamai dengan diriku sendiri itu sulit Ga, berdamai dengan melihat keluarnggaku
yang hancur, melihat orang-orang yang gagal berkomitmen itu sulit. Sulit buat
aku. Tapi aku baru sadar selama dua tahun ini aku nggak merasa sesulit ketika
melihat itu semua sendiri, aku bisa sedikit tidak memperhatikan mereka karena
kamu.” Kalimat terakhir yang diucapkan Alea membuat Rega terkesiap tidak
percaya. Matanya kembali menawarkan kehangatan seperti biasa, bukan sedingin es
sejak tadi ia duduk di hadapan Alea.
“I’m so sorry if I’m not a perfect person, if
I have some flaw. But I know I love you, I really do. I’m sorry.”
“Stop saying sorry Al, you don’t have to say
it. I love you too, with all of your flaw.” Tangis Alea kembali pecah mendengar ketulusan Rega yang
mencintainya sebegitu besar.
“Jadi
tawaran kamu yang kemarin masih berlaku?” Tanya Alea malu-malu di dalam
tangisnya. Rega tertawa mendengarnya, tawa yang membuat hati Alea menghangat. Tawa
itu kembali.
“Kamu
pikir aku mau menikah sama cewek ingusan kaya kamu sekarang? Sorry, no way!” Canda Rega mengusili Alea
yang masih mencoba berhenti dari sisa-sisa tangisnya.
“Nih
hapus dulu air mata sama ingusnya, jelek tahu. Diliatin orang-orang tuh,
disangka aku penjahat bikin anak orang nangis.” Ledek Rega sekali lagi sambil
memberikan Alea sapu tangannya. Alea hanya melototi Rega yang sekarang sudah
berpindah duduk menjadi di sampingnya dan memeluknya erat.
“Terus
kaya gini ya Ga, be my number one support
system would you?” Masih dalam dekapan Rega, Alea mencoba meyakinkan
dirinya bahwa ini keputusan yang benar.
“I will, my lady. Aku harus bilang apa
lagi biar kamu percaya? Ngegombal?”
“Emang
kamu bisa ngegombal?” Tidak yakin seorang Rega bisa menggombal, Alea menatap
Rega dengan tatapan menantang.
“Bisa!”
“Mana
coba?”
“Jangan
bilang ada yang menyakitimu, besok orang itu akan hilang!” Mereka tertawa,
diramainya senin sore.
“Itusih
kamu dilan-da ke-ngacoan! Nggak kreatif!” Senin sore yang hiruk pikuk dengan
kendaran dan orang-orang yang ingin kembali beristirahat dari segala urusannya,
dan di sini Alea kembali beristirahat. Di pelukan Rega, laki-laki yang sangat
mencintai dan dicintainya.